Selama bertahun-tahun, SMA Taruna Nusantara memesan hingga 5 ribu potong tempe tiap minggu. Perusahaan tekstil Usmantex pernah juga minta dibuatkan sebanyak 4 ribu bungkus setiap pekan.
SAHRUDIN, Mertoyudan
Permintaan tempe setiap hari terus berdatangan. Namun, si pembuat tempe tak sanggup memenuhi permintaan itu. “Tenaganya tidak cukup,” kata Jariyah, pemilik usaha tempe itu. Oleh para tetangga dan pelanggan, nenek 75 tahun ini kerap dipanggil Mbok Joyo. “Jariyah itu nama muda saya,” lanjutnya, ketika ditemui di rumahnya, di Dusun Seneng, Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan kemarin.
Dalam menjalankan usahanya, ia hanya mempekerjakan sebanyak 5 orang, yang terdiri dari anak, menantu dan tetangganya. Ada 2 macam tempe yang dibuat Mbok Joyo. Tempe berbungkus daun yang harganya Rp200 per potong, dan tempe lembaran berbungkus plastik seharga seribu rupiah tiap lembar. Proses pembuatan tempe biasanya memakan waktu antara 2 sampai 3 hari. Bakal tempe yang sudah selesai dibungkus, langsung ditempatkan di rak-rak bertingkat untuk proses fermentasi. “Kalau bungkusnya Senin, Rabu sudah jadi,” terangnya.
Tempe yang dipesan SMA Taruna Nusantara berupa tempe yang dibungkus daun. Sedangkan tempe lembaran dibuat untuk memenuhi permintaan pedagang-pedagang gorengan dan pemilik warung makan. “Mereka minta 150 lembar tiap hari,” ujarnya.
Kacang kedelai, bahan baku utama untuk membuat tempe, kini harganya mencapai Rp 5 ribu perkilogram. Mbok Joyo membelinya dari seorang pedagang di Kelurahan Tidar. “Sekali beli setengah kuintal, Rp250 ribu,” ucapnya. Kedelai sebanyak itu bisa untuk membuat lebih dari 1.300 tempe bungkus dan 150 tempe lembaran.
Kacang kedali tersebut diimpor dari Amerika Serikat. Tak heran jika harganya pun fluktuatif, tergantung pada nilai mata uang asing. “Naik turunnya tidak tentu,” cetus Mbok Joyo.
Dua tahun lalu, ketika terjadi krisis global, harga kedelai sempat naik hingga Rp 7 ribu tiap kilogram. Pemerintah kemudian menganjurkan agar pengusaha tempe, tahu dan kecap membeli kedelai bersubsidi di Kopti (Koperasi Tempe Indonesia) Cabang Magelang.
Sebenarnya, Mbok Joyo pernah mencoba menggunakan kedelai lokal. Ia membelinya dari seorang petani di Wonosari, Yogyakarta. Sayangnya, mutu kedelai lokal itu jauh dari yang diharapkan. “Kecil-kecil, kurang bisa mengembang,” ungkapnya. Di Magelang, belum pernah ia menjumpai adanya petani kedelai.
Sudah puluhan tahun industri tempe rumahan ini dijalankan Mbok Joyo. Sampai-sampai, ia sendiri tak mampu mengingat kapan persisnya usaha ini dimulai. Yang jelas, saat itu ia mengaku belum menikah. “Belanda belum lama pergi dari sini (Magelang) saya sudah mulai membuat tempe,” ujar Mbok Joyo, mencoba mengingat-ingat.*
wah biyung tuwoku mbiyene yo pengrajin tempe je kang…….
LikeLike
oalah, jebul kok mak’ku melu nampang…hahahahha. mbah joyo kemi a.k.a Jaya kami pancen joss
LikeLike
Saya sangat suka dengan rasa tempe magelang.
Euunaaakkk …….
Pengan lgi tpi jauh banget
LikeLike