Koran Sejuta Bunga

Sepuluh bulan lebih beberapa hari, saya bekerja untuk Surat Kabar Harian Magelang Ekspres. Saya merangkak mulai dari wartawan magang, wartawan tetap, sampai posisi asisten redaktur dan redaktur. Yang terakhir itu, saya mendapat tugas menyunting halaman Liga Indonesia yang berisi berita-berita sepakbola lokal, halaman Jawa Tengah dan DIY, serta halaman Opini dan Surat Pembaca.

————————————————————————–

Jalan santai memperingati HUT ke-2 Harian Magelang Ekspres, Minggu, 8 Juli 2012 di Kota Magelang.

SEPULUH BULAN, tentu bukan waktu yang panjang untuk berkarir di sebuah perusahaan penerbitan. Sepuluh bulan adalah waktu yang relatif singkat. Karena itu, bagaimana sesungguhnya dapur Magelang Ekspres, saya tentu tak banyak tahu.

Saya melamar bekerja sebagai jurnalis di koran ini, pada September 2010. Saat itu bulan puasa. Pagi-pagi, lamaran saya antar dan diterima Heri, petugas office boy.

Dua hari tak ada kabar.

“Dengan Mas Sahrudin? Besok pagi bisa datang ke kantor?” suara perempuan di seberang telepon. Ternyata ia bernama Santy, karyawan yang, menurut saya, paling cantik di Magelang Ekspres. Ia bertugas di bagian administrasi. Ia menelepon sore-sore, saat saya masih mancing belut di sawah dekat rumah.

Di kantor, saya ditemui Bayu Harimurti, redaktur pelaksana. Saya diinterview, atau katakanlah diajak bicara. Santai. Mulai dari gaji, sampai kelengkapan seperti kamera dan motor. Seingat saya, kala itu Bayu sudah menjelaskan, honor sebagai wartawan magang tidak cukup besar. Satu buah berita di halaman dalam, diganjar lima ribu rupiah. Di halaman dalam tapi di pinggir, kurang dari itu. Honor lebih besar kalau berita bisa nongol di halaman satu, mulai 15 sampai 25 ribu.

Saya paham, karena ini koran anyar. Dan lokal.

Magelang Ekspres menerima lamaran saya. Saat itu juga, saya langsung jalan mencari empat berita, standar minimal yang ditentukan koran ini, untuk tiap wartawan perhari. Saya ditempatkan di Kabupaten Magelang.

Berita hari pertama yang saya buat untuk Magelang Ekspres hanyalah tulisan “ecek-ecek”. Saya liput pasar murah di Dinas Perdagangan dan Pasar; di kantor kelurahan tempat saya tinggal; wawancara dengan tukang rongsok, serta, kalau tidak salah, perkiraan tingkat kenaikan permintaan ayam potong jelang lebaran.

Sore hari, saatnya memindahkan tulisan dari flashdisk ke komputer kantor. Sial, ternyata Kasyadi, wartawan lain yang bertugas di Kabupaten Magelang, juga punya berita pasar murah di Dinas Perdagangan dan Pasar.

“Memangnya kamu wawancara sama siapa? Aku wawancara dengan kepala dinasnya. Dia teman Pak Joko”, kata Kasyadi, menyebut nama redaktur kami. Akibatnya, saya kudu mengalah. Berita saya cuma dimuat tiga.

Selanjutnya, setiap hari, saya mulai menjalani pekerjaan sebagai wartawan di media mainstream, yang saya sebut sebagai “cucu tirinya” kelompok Jawa Pos ini. Rute saya: mulai dari Mertoyudan sampai Kajoran. Dari Kaliangkrik, Bandongan ke Srumbung, Dukun dan Sawangan. Dari Mungkid sampai Borobudur dan Muntilan. Dari Tegalrejo, Pakis hingga Ngablak.

Toro, yang kerap disapa Mbah Toro, karyawan bagian sirkulasi merangkap pengemudi, di koran Magelang Ekspres.

KABUPATEN MAGELANG adalah tanah kelahiran saya. Sejak TK sampai SMA, saya jalani di tempat ini. Buyut, kakek dan nenek, kedua orangtua saya, semua lahir di sini. Tapi saya merasa asing. Hampir 10 tahun saya pergi merantau ke Bali, Bandung dan Kalimantan. Punya isteri “nemu” di Kalimantan. Anak saya pun lahir di Kalimantan.

Ketika pulang, dusun saya telah sedemikian padat. Lapangan voli, satu-satunya lapangan yang ada di dusun saya, sudah jadi rumah megah milik seorang jenderal. Sebagian sawah menjelma jadi bangunan-bangunan rumah. Yang dulu saya lihat masih anak-anak ingusan dan cruwek, sekarang tumbuh menjadi remaja. Yang perempuan, ada yang sudah jadi isteri pengusaha kaya. Yang laki-laki, banyak yang jadi preman dan tukang mabuk.

Di Magelang Ekspres, saya bersyukur mendapat jatah liputan di “pinggiran”. Dalam arti, saya tidak ditugasi meliput di kantor-kantor pemerintahan. Saya memang lebih suka menulis tentang usaha kecil, pertanian, olahraga atau berita ekonomi dan hiburan. Bukan apa-apa, sedikit menambahi atau membumbui tulisan, tentu tak akan menimbulkan dampak apapun, karena beritanya biasanya cuma “fun“, tidak berakibat buruk bagi subjek berita.

Yang saya sayangkan, pada saat mulai bekerja di Magelang Ekspres ini, saya sudah tak punya satu pun kamera. Padahal sebelumnya, saya sempat memiliki setidaknya tiga unit kamera: Nikon D 1H, Nikon D 2H dan Nikon D 70S. Semuanya sudah saya tukar dengan bergepok-gepok uang.

Pekan terakhir Oktober 2010. Status Gunung Merapi naik, dari Siaga menjadi Awas.

“Kamu liputan Merapi. Bekti sudah ada di sana (lereng Merapi) dari tadi malam.” Ada pesan pendek dari Joko. Bekti yang disebut dalam SMS itu, adalah wartawan di Kabupaten Magelang, selain saya dan Kasyadi.

“Tapi aku lagi liputan,” saya balas SMS itu.

“Kalau cuma berita-berita seremonial, tidak penting, tinggalkan!” kata Joko lagi.

Pesan dari Joko itu, pikir saya, masuk pada saat yang tidak tepat. Sebab siang itu, saya sedang bete menunggu Kepala Desa Bulurejo, yang sedang rapat di Kantor Camat Mertoyudan. Saya tak punya nomor telepon selulernya. Saya ingin konfirmasi soal jebolnya jalan di antara Desa Bulurejo dan Kelurahan Jurangombo, Kota Magelang.

Panas, sedang tak punya duit, bolak-balik naik motor, hanya untuk sebuah berita, tiba-tiba dikirimi pesan yang tak enak dibaca. Selesai mengetik berita di kantor, saya langsung “mutung”. Besoknya, saya mogok cari berita. Saya SMS Suyuti Ghofir, pemimpin redaksi: “Pak, saya mogok nulis berita.” Pet, handphone saya matikan.

Tabiat saya memang begitu. Kalau sedang tak enak hati, apalagi kantung sedang tak berisi, saya akan jadi makin sensitif. Seperti perempuan, mulut saya juga bisa kurang terkendali.

Akibat mogok kerja itulah, beberapa kejadian “bagus” yang seharusnya sudah saya tulis, jadi terlewatkan. Ada pembongkaran Pasar Prajenan. Ada hiruk-pikuk evakuasi pengungsi dari di kampung-kampung di lereng Gunung Merapi.

Saya, sebenarnya, tersiksa tak bisa liputan. Tapi saya juga masih marah karena SMS sepele itu.

Bosan mutung, saya kerja lagi. Meski, tiap kali ketemu Joko di kantor, suasana tetap tak bisa cair seperti sediakala.

Selama peristiwa meletusnya Gunung Merapi yang disusul dengan bencana lahar dingin, Magelang Ekspres tak cuma memberitakan. Koran ini, bersama beberapa jaringannya, seperti Radar Tegal dan Radar Cirebon, juga menggelontorkan bantuan berupa uang, pipa paralon dan bahan bangunan, pakaian baru dan pantas pakai, serta bahan-bahan makanan.

Beberapa desa di lereng Gunung Merapi yang mendapat bantuan-bantuan tersebut, ada di Kecamatan Sawangan, Kecamatan Dukun dan Kecamatan Srumbung. Seluruh bantuan itu berasal dari para pembaca Radar Tegal dan Radar Cirebon, yang disalurkan melalui Magelang Ekspres.

Sama dengan di perusahaan lain, personel di koran ini juga mengalami proses “tambal-sulam”. Bekti dan Jatmiko keluar. Jatmiko, sebelumnya tugas di Kabupaten Purworejo lalu dipindah ke Kota Magelang. Ahmad Rifai, wartawan komunikasi-bisnis, menyusul pamit. Kemudian Kasyadi ikut hengkang.

Mereka senior-senior saya di koran ini.

Lucunya, beberapa wartawan yang baru, juga tak lama bertahan di sini. Saya ingat, ada nama Agus dan Kris. Mereka hanya bekerja beberapa minggu saja. Berkurangnya awak media ini, segera ditambal oleh kehadiran kawan-kawan yang baru: Yuki, Glori, Ambar dan entah siapa lagi. Lupa.

Di bagian redaksi, yang patut dipuji kesetiaannya pada perusahaan adalah Heny, Amron, Iman dan Salman. Ketiganya, sampai saat ini, merupakan jurnalis paling lama yang masih meliput untuk Magelang Ekspres. Sekarang saya dengar, Iman sudah jadi Kepala Biro di Kabupaten Wonosobo.

Kendati umur mereka jauh di bawah saya, saya tetap menganggap mereka senior.

Amron yang tak banyak omong, sudah jadi redaktur dan punya Blackberry. Salman yang innocent, jadi wartawan tetap, bukan lagi magang berinisial “mg9” atau “mg2”. Heny pun seperti Salman: jadi wartawan tetap, meski masih harus terus belajar merapikan tulisan-tulisannya.

Suyuti Abdul Ghofir, Pemimpin Redaksi Harian Magelang Ekspres. Mantan Redaktur Harian Radar Tegal.

MENJADI REDAKTUR, bukan berarti saya benar-benar berhenti meliput. Tiap kali PPSM Magelang menjalani laga kandang Divisi Utama 2010/2011 di Stadion Abu Bakrin, saya merasa harus turun tangan. Ini sebenarnya bagian Salman. Tapi kemudian saya putuskan untuk berbagi tugas: Salman nulis berita, saya yang motret.

Bagus nggak bagus, saya puas dengan halaman Liga Indonesia, yang berisi berita dan foto sepakbola lokal. Tapi, ada yang kadang bikin saya mangkel. Ardi, koordinator layout, suka membantah keinginan saya dalam hal tata letak foto di halaman yang jadi “wilayah kekuasaan” saya itu.

Ia suka mengritik kualitas foto yang kurang tajam. Ia tidak mikir bahwa kamera dan lensa yang dimiliki kantor itu, “hanyalah” Canon 1000D dan lensa tua Canon 75-300mm. Saya jelaskan soal minimnya perlengkapan itu, Ardi memang mau mengerti. Tapi, tak jarang, besoknya ia kembali menggerundalkan foto-foto sepakbola yang kurang tajam.

Di bagian layout, yang paling saya suka adalah Adib, Irin dan Ojan. Ketiganya selalu menurut perintah saya (ceileee, kayak bos aja). Kalau saya sudah tentukan foto yang akan dimuat, mereka hanya memberikan masukan seperlunya. Selebihnya manut.

Kire ke kanan: Ambar dan Heny (wartawan), Santy (administrasi), serta Irma, isteri Manajer Pemasaran Harian Magelang Ekspres.

PEKERJA-PEKERJA di bagian cetak, adalah orang-orang yang sangat menyenangkan untuk dijadikan kawan. Tempat curhat. Ada Eko, Rori, Tri dan Nanang.

Saya suka melihat mereka bekerja: mulai dari mounting, hingga tahap-tahap akhir pencetakan koran. Suatu ketika, pernah terjadi: pada salah satu halaman, hasil cetakan hitam semua. Kali lain, hasil cetakan terbalik, seperti tulisan “Ambulance” yang terbalik itu.

Tiap malam, suara mesin cetak yang menderu, terdengar lebih merdu ketimbang suara Afghan dan Judika Idol. Sejak masih jadi wartawan magang pun, saya sudah kerap tidur di gudang ruang cetak, beralas kardus dan koran. Tak jarang, saya baru bangun ketika karyawan-karyawan administrasi, pemasaran dan iklan berdatangan.

Ada kejadian yang sulit dilupakan di ruang mesin cetak. Dini hari, Eko dan Rori berkelahi. Entah apa pangkal masalahnya. Mulanya, mereka berbalas pukul. Eko ambil kursi, mengayunkan ke arah Rori, dan ditangkis pakai tangan. Eko ambil penggaris besi, dan dipukulkan ke dahi Rori.

Crasssss… Darah mengucur dari kepala Rori. Semua ribut. Saya tak mampu memisah. Saya bangunkan Bayu yang sedang tidur di atas jejeran kursi di ruang redaktur. “Kalau di perusahaan lain, mereka langsung dipecat,” kata Bayu, usai melerai. Saya boncengkan Rori ke rumah sakit di seberang kantor. Tak ingat, berapa jahitan di dahi Rori. Biayanya Rp 65.000, ditanggung kantor.

Siang harinya, Ghofir, pemimpin redaksi, mendengar kejadian itu. Ia damaikan Rori dan Eko. “Nggak apa-apa, anak muda,” seloroh pria asal Slawi, Tegal itu. Ghofir memang selalu santai, termasuk ketika menghadapi sesuatu yang oleh orang lain dianggap serius dan tegang sekalipun.

Selang beberapa hari, terdengar Eko berhenti bekerja, dan pulang ke kampung halamannya di Nganjuk, Jawa Timur.

Di Magelang Ekspres, mungkin saya adalah salah satu karyawan yang paling sering kasbon alias ngutang. Dalam sebulan, saya bisa dua kali mendatangi bagian keuangan untuk pinjam duit. Sejak bagian keuangan masih dipegang oleh Mariana, kemudian ganti Erna dan selanjutnya, Reni. Akibatnya, tak pernah saya terima gaji dalam jumlah utuh. Potongan gaji saya, pernah mencapai hampir 80 persen, karena kasbon itu tadi.

Selama liputan untuk Magelang Ekspres, saya dua kali terima amplop. Ini adalah uang dari narasumber, atau pihak yang saya datangi karena ada liputan di sana. Pertama, amplop berisi uang 100 ribu rupiah, dari Taman Wisata Candi Borobudur. Saat itu, saya sedang meliput kedatangan Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Judith McHale. Amplop kedua, saat liputan di sebuah acara di halaman Rumah Makan Brambang Salam di Tegalrejo, Kabupaten Magelang, sebesar 50 ribu rupiah.

Kendati menerima imbalan dari narasumber sebenarnya melanggar etika jurnalistik, tapi siapa yang peduli? Dan jumlah uang itu, pasti, hanyalah “debu” diantara amplop-amplop yang beterbangan di sana-sini…

MARK UP ANGGARAN untuk membeli lensa kamera, adalah salah satu dosa besar saya, selama bekerja untuk Magelang Ekspres. Harga lensa yang seharusnya Rp 1,6 juta, di kuitansi tertera Rp 1.800.000,00. Memang, semula penjual lensa mematok harga Rp 1,8 juta untuk lensa Canon 75-300mm itu. Saya tawar, harga turun sebesar 200 ribu rupiah. “Keuntungan” itu, langsung saya belikan sepatu Converse, untuk jogging biar tetap sehat…

Dengar-dengar, kondisi lensa tele yang saya belikan itu, sudah makin memprihatinkan. Akibat melulu bermalam di ruangan ber-AC, tak pernah disimpan di dry box dengan silica gell cukup, jamur di optik lensa tambah banyak saja. Fokusnya pun makin lambat dan seret.

Kekompakan dan rasa persaudaraan di Magelang Ekspres, pernah diuji oleh “serangan” di Facebook. Penyebabnya, sebuah foto yang dimuat di koran ini, ternyata diambil tanpa ijin dari pemilik foto, yang kebetulan bekerja di Harian RM (Radar Magelang). Watermark yang semula ada di foto, dipotong begitu saja oleh bagian layout.

Di Facebook, puluhan komentar terlihat menjengkelkan. Meski ada yang memberikan kata-kata bijak, tapi lebih banyak yang terkesan melecehkan, menghina dan menghakimi.

Kejadian ini, tentu bikin kami kaget, sekaligus marah. Sekitar jam empat pagi, saya ke kantor. Ada atasan saya yang terlihat sangat emosi. “Kita cari tempat kos dia. Ngapain dia nyebar-nyebar kayak gini. Kalau mau (kompensasi) duit, datang ke kantor,” kata dia, bernada tinggi.

Saya inbox si pemilik foto. Intinya, lebih baik masalah ini diselesikan secara kekeluargaan. Kalau tak sepakat, bawa saja ke Dewan Pers. Dia menolak, dengan alasan buat pembelajaran, agar di kemudian hari tak ada kejadian macam ini lagi.

Ghofir, meski sempat tampak “galau”, selebihnya ia rileks. “Biar saja. Anggap saja ini promosi gratis untuk Magelang Ekspres. Koran kita nanti jadi lebih dikenal,” ujarnya.

Kendati berbeda induk, RM sesungguhnya adalah “saudara” Magelang Ekspres, karena sama-sama lahir dari kelompok Jawa Pos. Kala itu, RM ada di bawah Radar Semarang, sedangkan Magelang Ekspres satu jaringan dengan Radar Cirebon dan Radar Tegal.

Kini, Radar Magelang sudah tak jadi koran mandiri. Maksud saya, ia terbit satu paket dengan koran induknya sekarang. Praktis, di Magelang dan daerah-daerah lain di sekitarnya, Magelang Ekspres masih jadi “pemain tunggal” di koran harian.

MINGGU, 8 Juli 2012. Alun-alun Kota Magelang terlihat padat. Ribuan orang siap berjalan sehat merayakan HUT Magelang Ekspres ke-2. Acara ini dihadiri Dahlan Iskan, Menteri BUMN, yang mantan bosnya Jawa Pos. Beberapa ruas jalan protokol sempat ditutup.

Sigit Widyonindito, Walikota Magelang, sesaat sebelum melepas peserta Jalan Santai HUT Magelang Ekspres ke-2, Minggu, 8 Juli 2012.

Hadiah utama jalan santai ini, bukan main-main untuk ukuran Magelang dan sekitarnya: delapan unit Suzuki Nex. Tahun sebelumnya, jalan santai yang digelar Magelang Ekspres, seingat saya, hanya menyediakan hadiah utama satu sepeda motor, berikut beberapa hadiah lain.

Sigit Widyonindito, Walikota Magelang, sempat berujar sebelum mengayun bendera start. “Rasanya, belum pernah ada di Magelang ini, acara jalan santai dengan hadiah 8 sepeda motor,” kata dia, disambut applaus peserta. Sigit pun berpesan, agar setiap pemberitaan di Magelang Ekspres bisa lebih berimbang, dan tidak provokatif. “Pembaca sekarang sudah semakin cerdas!”[Sahrudin/MagelangImages]

***Feature ini hanya dimaksudkan untuk mengingatkan agar saya (penulis) tidak pernah melupakan jasa Magelang Ekspres, selama saya bekerja di sana. Kalau ada yang salah, kontak saja, nanti saya ralat. Prinsip saya: karena wartawan/perusahaan media selalu menulis/memublikasikan tentang orang lain, maka, mereka juga harus konsekuen, harus bersedia untuk ditulis atau dipublikasikan. He he he… Piss yaw…

9 responses to “Koran Sejuta Bunga

  1. Keluhan Pelanggan

    Mohon ditertibkan para pengamen diterminal Magelang dan Muntilan karene sudah sangat meresahkan warga. Ada beberapa pwngamen yang memaksa dan memaki maki penumpang ketika tidak diberi uang. Bahkan kebanyakan mereka bau alkohol. Ciri ciri pengamen muntilan yang sering memaki penumpang kulit hitam rambut belah tengah badan agak besar.mohon segera ditertibkan karena menurut saya ini merupakan bentuk pemerasan walaupun dala sekala kecil. saya yakin polisi sebagai pengayom masyarakat dapat memberikan solusi yang terbaik untuk masyarakat.Hormat sayaAndri S

    Like

  2. Selamat berulangtahun ke-3 Magelang Ekspress…..maju terus pantang mundur semoga makin berkualitas dan benar2 menjadi “kprane wong kedu”.

    Like

  3. Salam kenal..
    Baca tulisan anda, mengingatkan saya sewaktu masih magang di ME. Memang hanya sebentar,tapi sangat berkesan,banyak pelajaran yang saya dapat. Ternyata jadi jurnalis tidak sesimpel jadi wartawan majalah kampus. Empat liputan saya hanya berhasil dimuat satu kali saja,waktu itu update pengungsi merapi dari bnpb kabupaten magelang. Kode saya kalo tidak slah waktu itu mg11.Apapun itu sy merasa senang pernah punya kesempatan menulis di ME,semoga sukses selalu.

    Like

Leave a comment